Minggu, 17 November 2013

Hubungan Antara Ilmu Bahasa dan Pengajaran Bahasa

1. Pengantar
Setakat ini dapat dikatakan bahwa awal mula penelitian tentang hubungan antara ilmu bahasa dan pengajaran bahasa dapat dilacak balik ke abad 19. Sejak saat itu, setiap penelitian yang diajukan para sarjana acapkali menjadi bahan perdebatan. Hingga tahun  1960-an, tatkala keterkaitan keduanya ditinjau ulang, muncul dua sudut pandang. Pandangan yang pertama mengatakan bahwa ilmu bahasa tidaklah sepenting  seperti yang dipraanggapkan setakat ini, yakni betul-betul dianggap penting. Beberapa ahli bahasa seperti  Johnson (1967) dan Lamendella (1969) mengungkapkan ketidaksetujuannya mengenai anggapan bahwa ilmu bahasa menjadi basis strategi pemelajaran.
Lamendella (1969) berpikir bahwa  sungguh salah manakala kita mengandalkan Tata Bahasa Pembangkit (Tata Bahasa Generatif Transformasional – TGT) atau  teori lain manapun tentang deskripsi bahasa sebagai  basis teori bagi pengajaran bahasa kedua. Baginya, yang diperlukan dalam bidang pengajaran bahasa  bukanlah bahasawan terapan, melainkan psikolog terapan. Pandangan yang kedua adalah adanya pengakuan terhadap sumbangan ilmu bahasa  tetapi dengan syarat  bahwa pengajaran bahasa tidak terikat untuk senantiasa patuh pada satu teori. Teori linguistik yang berbeda-beda bisa menawarkan perspektif yang berbeda pula mengenai bahasa, dan bisa diperlakukan sebagai sumber yang serupa.
Levenson (1979) mengatakan bahwa tak ada satu pun aliran analisis bahasa yang memonopoli kebenaran deskripsi fenomena ujaran entah itu aliran tata bahasa tradisional atau  tata bahasa transformasional, masing-masing memiliki gayutan (relevance) secara spesifik dengan  situasi pengajaran bahasa. Pada galibnya dapat dinyatakan bahwa terdapat interaksi timbal balik antara imu bahasa dan pengajaran bahasa. Dalam tulisan ini, terminologi pengajaran bahasa dan teori pengajaran merujuk pada pengajaran bahasa kedua. Sejauh  ini pula dapat dikatakan bahwa relasi antara ilmu bahasa dan pengajaran bahasa bersifat diadis. Ini bermakna,  pada sisi yang satu, sebagian teori linguistik dapat diterapkan pada pengajaran bahasa, yang bermakna pula bahwa ilmu bahasa memandu perkembangan teori pengajaran bahasa. Pada sisi yang lain, sebuah teori pengajaran  menyiratkan jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat bahasa. Pertanyaan tersebut mengaitrapatkan teori pengajaran bahasa secara langsung dengan linguistik teoretis.
2. Ilmu Bahasa Sebagai Pemandu Pengajaran Bahasa
Tahun-tahun awal perang dunia (PD) kedua, ilmu bahasa dikenali sebagai komponen penting dalam teori pengajaran bahasa. Selama itu, Amerika Serikat memerlukan banyak prajurit yang mengetahui bahasa-bahasa asing. Untuk memenuhi permintaan ini, sekelompok bahasawan seperti  Bloomfield (1942) mulai memakai pengetahuan  Linguistik untuk menganalisis bahasa yang akan diajarkan dan hasilnya terbukti memuaskan. Bloomfield menyarankan bahwa satu-satunya guru yang mangkus (effective) sebaiknya adalah seorang bahasawan terlatih yang dekat dengan peserta didik, karena guru bahasa sering kali kurang memiliki keterampilan  bahasa yang cukup, hanya bahasawan yang terlatih yang  mengetahui bagaimana peserta didik belajar dari  penutur jati (native speaker) dan bagaimana mengajarkan bentuk-bentuk bahasa. Dalam konteks ini, saran Bloomfield memang tampak sedikit ekstrim, tetapi kita harus mengakui bahwa sebagai guru bahasa kita sepatutnya memiliki pengetahuan dan penguasaan yang baik  tentang ilmu bahasa, supaya kita bisa mengajar dengan baik. Sebagai contoh, dalam mengajar pelafalan, manakala kita mengetahui fonetik dengan baik, kita bisa memberi tahu peserta didik mengenai konstruksi organ artikulasi kita dan bagaimana suatu bunyi dihasilkan melalui sinergi antarorgan artikulasi itu. Kita juga dapat membantu peserta didik memperoleh pengetahuan mengenai cara mengklasifikasikan vokal dan konsonan dan cara menghasilkan bunyi itu secara akurat dengan posisi lidah yang benar. Konkretnya, hanya dengan penguasaan yang baik tentang ilmu bunyi bahasa (Fonetik) peserta didik bisa mempelajari lafal (pronunciation) kata dengan baik pula.  Minimal, guru bahasa sepatutnya mengadopsi analisis bunyi ujaran ahli fonetik dan asosiasi fonetik internasional untuk melatih pelafalan.
Menjelang kira-kira tahun 1960, pengaruh Linguistik Struktural terhadap bidang pengajaran bahasa mencapai puncaknya di Amerika Serikat. Linguistik ini menekankan pentingnya bahasa sebagai sistem dan menyelidiki letak unit-unit kebahasaan seperti bunyi, kata, dan kalimat dalam sistem itu.  Bersama dengan  Behaviorisme,  ia memberi basis teoretis utama pada Teori Audiolingual  dan memengaruhi materi pengajaran bahasa, teknik, dan pendidikan guru. Behaviorisme menghasilkan  teori-teori pemelajaran dan pengajaran bahasa yang menjelaskan bagaimana  sebuah peristiwa  eksternal (stimulus) menyebabkan perubahan perilaku pada individu  (response) tanpa perilaku mental apapun. Meskipun  Behaviorisme mengabaikan aktivitas mental, ia menekankan pentingnya praktik  dan pengulangan dalam pemelajaran bahasa, yang merupakan faktor  vital dalam mempelajari bahasa asing. Berkenaan dengan hal ini,  metode audiolingual dapat diambil sebagai contoh. Metode ini menekankan: (1) pengajaran berbicara dan menyimak sebelum membaca dan menulis; (2) pemakaian dialog dan latihan (drills); (3) penghindaran pemakaian bahasa ibu di kelas. Metode ini menganggap berbicara dan menyimak sebagai keterampilan berbahasa paling mendasar, yang sinkron dengan situasi pengajaran bahasa Inggris saat ini.
Secara spesifik, dalam konteks Indonesia, dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing supaya mampu berkomunikasi dengan orang asing. Baginya, kemahiran berbicara dan menyimak  itu lebih penting daripada kemahiran membaca dan menulis karena ia tidak diharapkan memiliki tingkat penguasaan yang tinggi mengenai bahasa Inggris dan tujuan belajarnya cukup sederhana, yakni bahwa tatkala ia perlu berkomunikasi dengan orang asing, ia bisa memahami kata-kata orang asing itu dan mengungkapkan dirinya dengan baik.
Di Indonesia, kita mulai mengajar bahasa Inggris tatkala peserta didik berada di Sekolah Dasar, meskipun mata pelajaran itu baru berstatus muatan lokal. Sebelumnya, kita lebih sering mencurahkan perhatian pada pengajaran tata bahasa dan hasilnya sungguh mengecewakan, yakni bahwa sebagian besar peserta didik kita tidak bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik; bahkan beberapa di antaranya tidak bisa berkata dengan kalimat yang lengkap. Akhir-akhir ini, kita menekankan pentingnya berbicara dan menyimak dalam pengajaran bahasa Inggris dan mengadopsi Metode Audiolingual di kelas. Metode ini memberi penekanan pada praktik dan pengulangan materi yang telah dipelajari di kelas; ia memercayai bahwa bahasa dipelajari melalui pembentukan kebiasaan. Hal ini bermakna bahwa supaya bisa berbicara bahasa Inggris dengan fasih, diperlukan praktik yang konstan. Dengan demikian, dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Inggris, kita sepantasnya berupaya membantu peserta didik kita agar bisa berbicara dan menyimak dengan baik kapan pun ia perlu untuk itu.
Tatkala pengaruh Strukturalisme pada ilmu pengajaran bahasa begitu menyeluruh dan kuat, pengaruh  TGT menunjukkan hal yang berbeda. Pada akhir tahun 1960-an,  terjadi perkembangan baru dalam  ilmu pengajaran bahasa sebagai akibat dari dampak teori ini. Contoh yang spesifik adalah teori kognitif pemelajaran bahasa. Teori ini muncul  tatkala TGT lengket erat dengan  pandangan kognitif psikologi pemelajaran bahasa. Ia berlawanan dengan teori  empirisis, yakni secara pedagogis adalah audiolingualisme, secara psikologis adalah behaviorisme, dan secara linguistis adalah strukturalisme. TGT menekankan aktivitas mental. Teori ini menyarankan bahwa manusia memiliki kemampuan mempelajari suatu bahasa. Yang membuat manusia memperoleh tata aturan bahasa dan memahami atau menghasilkan jumlah kalimat yang tak terbatas adalah kemampuan bawaan (inborn ability). Bahasawan seperti  Diller (1970) lebih mendukung teori kognitif; sementara bahasawan yang lain seperti  Chastain (1976) dan Rivers (1981:25-27) beranggapan bahwa dua teori itu saling melengkapi  dan membentangkan berbedanya jenis pembelajar atau pengajar atau malah merepresentasikan berbedanya fase pemelajaran bahasa. Tampaknya, teori empirisis bermanfaat dan lebih cocok untuk pemelajaran dan pengajaran bahasa; sedangkan teori kognitif lebih bermanfaat dan cocok untuk analisis bahasa.
Pada tahun 1970an, sekelompok sarjana seperti  Oller (1970) dan Widdowson (1978), yang merupakan ahli bahasanya sendiri tetapi pada saat yang sama bergulat dengan praktik pengajaran, memberi arah kebahasaan pada pendidikan dan pengajaran bahasa yang dianggapnya perlu. Karena dalam kedudukannya yang baik untuk menciptakan mata rantai antara teori bahasa dan praktik pengajaran bahasa, keduanya menekankan pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Minat  Oller  pada  Pragmatik bisa dijadikan contoh. Oller (1970:507) menyatakan  bahwa Pragmatik berimplikasi pada pengajaran bahasa; ia membatasi tujuan pengajaran suatu bahasa untuk mendorong peserta didik tidak hanya  memanipulasi rentetean bunyi tak bermakna, tetapi juga mengirim dan menerima pesan dalam bahasa. Dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Inggris, pengetahuan yang cukup tentang Pragmatik sungguh bisa membantu kita sebagai guru untuk mempelajari dan mengajar bahasa Inggris dengan baik. Sebagai contoh, dalam percakapan harian, orang seringkali berbicara secara tidak langsung, barangkali kita sudah  mengetahuinya, tetapi tanpa pengetahuan Pragmatik, kita tak bisa menerangkannya dengan benar. Dengan pengetahuan Pragmatik kita bisa menerangjelaskan beberapa gejala bahasa secara akurat, yang membuat peserta didik kita memiliki wawasan yang lebih dalam tentang  hakikat bahasa. Widdowson (1978) membatasi  seperangkat konsep yang berkontras untuk membedakan antara bahasa sebagai sistem  formal dan bahasa sebagai peristiwa komunikatif. Beliau menganjurkan pergeseran  penekanan dari pengajaran  bahasa kedua sebagai sistem formal ke pengajaran bahasa kedua sebagai komunikasi. Pandangan Widdowson ini sejalan dengan situasi pengajaran bahasa kedua di negara kita. Saat ini kita menekankan pentingnya kemampuan komunikatif peserta didik kita, yakni  berkata, menyimak, dan berbincang alih-alih kemahiran berbahasa. Ini tidak bermakna bahwa kita tidak memerlukan pengetahuan tentang ilmu bahasa; justru sebaliknya, kita memakai teori bahasa sebagai pemandu pengajaran bahasa kita.
3. Ilmu Bahasa, Pengajaran Bahasa, dan Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan sebuah entitas yang kompleks. Ia kontradiktif dan opositif. Ilmu bahasa dan pengajaran bahasa semestinya mempertimbangkan kontradiksi ini. Jika tidak, ia tidak bisa memberi solusi yang memuaskan terhadap  permasalahan bahasa. Karena bahasa pada hakikatnya kompleks, yang harus dilakukan ilmu bahasa adalah mengidentifikasi elemen atau aspek untuk menganalisisnya. Sebagai contoh, tatkala kita berbicara tentang bahasa, kita mencoba menganalisisnya dari empat aspek: sistem bunyi, sistem gramatikal, sistem leksikal, dan sistem  wacana. Dari keempat aspek itu, kita bisa melihat, termasuk atau tidak termasuk aspek yang mana teori pegajaran atau praktik pengajaran bahasa kita. Secara teoretis, keempat aspek tersebut mesti dilibatkan dalam teori pengajaran kita, karena keempatnya merupakan gambaran menyeluruh tentang bahasa. Tatkala kita menganalisis setiap aspek itu, kita akan memakai teori bahasa untuk menggambarkannya, yang bermakna bahwa  kita harus memepertimbangkan bagaimana ia beroperasi secara linguistis, apa maknanya secara semantis, dan bagaimana ia digunakan secara  sosiolinguistis.  Hanya jika bahasa dianalisis secara sistematis, ia bisa dipelajari secara praksis. Namun, guru bahasa berharap bahwa ia mengajar bahasa secara menyeluruh (holistis), yang bermakna bahwa bahasa selayaknya dianggap sebagai sebuah sintesis dalam praktik pengajaran kita. Dengan demikian, teori pengajaran bahasa yang memuaskan sepatutnya menganggap bahasa baik sebagai fitur-fitur yang terpisah maupun sebagai sebuah sintesis.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahasa adalah juga sebuah entitas yang opositif, yakni bahwa bahasa itu terkendali oleh tata aturan (rule-governed) dan bahasa itu berdaya cipta  (creative). Ia  tidak hanya melibatkan  tata dan keteraturan, tetapi juga memberi peluang untuk berdaya cipta. Berbasis pada hal ini, praktik pengajaran bahasa atau teori pengajaran maupun teori bahasa sepatutnya mempertimbangkan keteraturan dan kemungkinan menggunakan keteraturan ini dengan berbagai cara. Dalam praktik pengajaran kita, kita seharusnya mengajar peserta didik kita tata bahasa atau aturan bahasa; di sisi lain, kita meminta  peserta didik memakai bahasa secara inovatif berbasis pada aturan itu. Dalam konteks inilah, pengajaran tata aturan bahasa sepatutnya diletakkan pada kedudukan tertinggi, karena tanpa  dasar yang kokoh

0 komentar:

Posting Komentar