1. Pengantar
Setakat ini dapat dikatakan
bahwa awal mula penelitian tentang hubungan antara ilmu bahasa dan
pengajaran bahasa dapat dilacak balik ke abad 19. Sejak saat itu, setiap
penelitian yang diajukan para sarjana acapkali menjadi bahan
perdebatan. Hingga tahun 1960-an, tatkala keterkaitan keduanya ditinjau
ulang, muncul dua sudut pandang. Pandangan yang pertama mengatakan
bahwa ilmu bahasa tidaklah sepenting seperti yang dipraanggapkan
setakat ini, yakni betul-betul dianggap penting. Beberapa ahli bahasa
seperti Johnson (1967) dan Lamendella (1969) mengungkapkan
ketidaksetujuannya mengenai anggapan bahwa ilmu bahasa menjadi basis
strategi pemelajaran.
Lamendella (1969) berpikir bahwa sungguh salah manakala kita mengandalkan Tata Bahasa Pembangkit (Tata Bahasa Generatif Transformasional – TGT) atau teori lain manapun tentang deskripsi bahasa sebagai basis teori bagi pengajaran bahasa kedua. Baginya, yang diperlukan dalam bidang pengajaran bahasa bukanlah bahasawan terapan, melainkan psikolog terapan. Pandangan yang kedua adalah adanya pengakuan terhadap sumbangan ilmu bahasa tetapi dengan syarat bahwa pengajaran bahasa tidak terikat untuk senantiasa patuh pada satu teori. Teori linguistik yang berbeda-beda bisa menawarkan perspektif yang berbeda pula mengenai bahasa, dan bisa diperlakukan sebagai sumber yang serupa.
Lamendella (1969) berpikir bahwa sungguh salah manakala kita mengandalkan Tata Bahasa Pembangkit (Tata Bahasa Generatif Transformasional – TGT) atau teori lain manapun tentang deskripsi bahasa sebagai basis teori bagi pengajaran bahasa kedua. Baginya, yang diperlukan dalam bidang pengajaran bahasa bukanlah bahasawan terapan, melainkan psikolog terapan. Pandangan yang kedua adalah adanya pengakuan terhadap sumbangan ilmu bahasa tetapi dengan syarat bahwa pengajaran bahasa tidak terikat untuk senantiasa patuh pada satu teori. Teori linguistik yang berbeda-beda bisa menawarkan perspektif yang berbeda pula mengenai bahasa, dan bisa diperlakukan sebagai sumber yang serupa.
Levenson (1979) mengatakan
bahwa tak ada satu pun aliran analisis bahasa yang memonopoli kebenaran
deskripsi fenomena ujaran entah itu aliran tata bahasa tradisional atau
tata bahasa transformasional, masing-masing memiliki gayutan (relevance)
secara spesifik dengan situasi pengajaran bahasa. Pada galibnya dapat
dinyatakan bahwa terdapat interaksi timbal balik antara imu bahasa dan
pengajaran bahasa. Dalam tulisan ini, terminologi pengajaran bahasa dan
teori pengajaran merujuk pada pengajaran bahasa kedua. Sejauh ini pula
dapat dikatakan bahwa relasi antara ilmu bahasa dan pengajaran bahasa
bersifat diadis. Ini bermakna, pada sisi yang satu, sebagian teori
linguistik dapat diterapkan pada pengajaran bahasa, yang bermakna pula
bahwa ilmu bahasa memandu perkembangan teori pengajaran bahasa. Pada
sisi yang lain, sebuah teori pengajaran menyiratkan jawaban atas
pertanyaan mengenai hakikat bahasa. Pertanyaan tersebut mengaitrapatkan
teori pengajaran bahasa secara langsung dengan linguistik teoretis.
2. Ilmu Bahasa Sebagai Pemandu Pengajaran Bahasa
Tahun-tahun awal perang dunia
(PD) kedua, ilmu bahasa dikenali sebagai komponen penting dalam teori
pengajaran bahasa. Selama itu, Amerika Serikat memerlukan banyak
prajurit yang mengetahui bahasa-bahasa asing. Untuk memenuhi permintaan
ini, sekelompok bahasawan seperti Bloomfield (1942) mulai memakai
pengetahuan Linguistik untuk menganalisis bahasa yang akan diajarkan
dan hasilnya terbukti memuaskan. Bloomfield menyarankan bahwa
satu-satunya guru yang mangkus (effective) sebaiknya adalah
seorang bahasawan terlatih yang dekat dengan peserta didik, karena guru
bahasa sering kali kurang memiliki keterampilan bahasa yang cukup,
hanya bahasawan yang terlatih yang mengetahui bagaimana peserta didik
belajar dari penutur jati (native speaker) dan bagaimana
mengajarkan bentuk-bentuk bahasa. Dalam konteks ini, saran Bloomfield
memang tampak sedikit ekstrim, tetapi kita harus mengakui bahwa sebagai
guru bahasa kita sepatutnya memiliki pengetahuan dan penguasaan yang
baik tentang ilmu bahasa, supaya kita bisa mengajar dengan baik.
Sebagai contoh, dalam mengajar pelafalan, manakala kita mengetahui
fonetik dengan baik, kita bisa memberi tahu peserta didik mengenai
konstruksi organ artikulasi kita dan bagaimana suatu bunyi dihasilkan
melalui sinergi antarorgan artikulasi itu. Kita juga dapat membantu
peserta didik memperoleh pengetahuan mengenai cara mengklasifikasikan
vokal dan konsonan dan cara menghasilkan bunyi itu secara akurat dengan
posisi lidah yang benar. Konkretnya, hanya dengan penguasaan yang baik
tentang ilmu bunyi bahasa (Fonetik) peserta didik bisa mempelajari lafal
(pronunciation) kata dengan baik pula. Minimal, guru bahasa
sepatutnya mengadopsi analisis bunyi ujaran ahli fonetik dan asosiasi
fonetik internasional untuk melatih pelafalan.
Menjelang kira-kira tahun
1960, pengaruh Linguistik Struktural terhadap bidang pengajaran bahasa
mencapai puncaknya di Amerika Serikat. Linguistik ini menekankan
pentingnya bahasa sebagai sistem dan menyelidiki letak unit-unit
kebahasaan seperti bunyi, kata, dan kalimat dalam sistem itu. Bersama
dengan Behaviorisme, ia memberi basis teoretis utama pada Teori
Audiolingual dan memengaruhi materi pengajaran bahasa, teknik, dan
pendidikan guru. Behaviorisme menghasilkan teori-teori pemelajaran dan
pengajaran bahasa yang menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa
eksternal (stimulus) menyebabkan perubahan perilaku pada individu (response)
tanpa perilaku mental apapun. Meskipun Behaviorisme mengabaikan
aktivitas mental, ia menekankan pentingnya praktik dan pengulangan
dalam pemelajaran bahasa, yang merupakan faktor vital dalam mempelajari
bahasa asing. Berkenaan dengan hal ini, metode audiolingual dapat
diambil sebagai contoh. Metode ini menekankan: (1) pengajaran berbicara
dan menyimak sebelum membaca dan menulis; (2) pemakaian dialog dan
latihan (drills); (3) penghindaran pemakaian bahasa ibu di
kelas. Metode ini menganggap berbicara dan menyimak sebagai keterampilan
berbahasa paling mendasar, yang sinkron dengan situasi pengajaran
bahasa Inggris saat ini.
Secara spesifik, dalam
konteks Indonesia, dapat dikatakan bahwa semakin banyak orang belajar
bahasa Inggris sebagai bahasa asing supaya mampu berkomunikasi dengan
orang asing. Baginya, kemahiran berbicara dan menyimak itu lebih
penting daripada kemahiran membaca dan menulis karena ia tidak
diharapkan memiliki tingkat penguasaan yang tinggi mengenai bahasa
Inggris dan tujuan belajarnya cukup sederhana, yakni bahwa tatkala ia
perlu berkomunikasi dengan orang asing, ia bisa memahami kata-kata orang
asing itu dan mengungkapkan dirinya dengan baik.
Di Indonesia, kita mulai
mengajar bahasa Inggris tatkala peserta didik berada di Sekolah Dasar,
meskipun mata pelajaran itu baru berstatus muatan lokal. Sebelumnya,
kita lebih sering mencurahkan perhatian pada pengajaran tata bahasa dan
hasilnya sungguh mengecewakan, yakni bahwa sebagian besar peserta didik
kita tidak bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik; bahkan beberapa di
antaranya tidak bisa berkata dengan kalimat yang lengkap. Akhir-akhir
ini, kita menekankan pentingnya berbicara dan menyimak dalam pengajaran
bahasa Inggris dan mengadopsi Metode Audiolingual di kelas. Metode ini
memberi penekanan pada praktik dan pengulangan materi yang telah
dipelajari di kelas; ia memercayai bahwa bahasa dipelajari melalui
pembentukan kebiasaan. Hal ini bermakna bahwa supaya bisa berbicara
bahasa Inggris dengan fasih, diperlukan praktik yang konstan. Dengan
demikian, dalam pemelajaran dan pengajaran bahasa Inggris, kita
sepantasnya berupaya membantu peserta didik kita agar bisa berbicara dan
menyimak dengan baik kapan pun ia perlu untuk itu.
Tatkala pengaruh
Strukturalisme pada ilmu pengajaran bahasa begitu menyeluruh dan kuat,
pengaruh TGT menunjukkan hal yang berbeda. Pada akhir tahun 1960-an,
terjadi perkembangan baru dalam ilmu pengajaran bahasa sebagai akibat
dari dampak teori ini. Contoh yang spesifik adalah teori kognitif
pemelajaran bahasa. Teori ini muncul tatkala TGT lengket erat dengan
pandangan kognitif psikologi pemelajaran bahasa. Ia berlawanan dengan
teori empirisis, yakni secara pedagogis adalah audiolingualisme, secara
psikologis adalah behaviorisme, dan secara linguistis adalah
strukturalisme. TGT menekankan aktivitas mental. Teori ini menyarankan
bahwa manusia memiliki kemampuan mempelajari suatu bahasa. Yang membuat
manusia memperoleh tata aturan bahasa dan memahami atau menghasilkan
jumlah kalimat yang tak terbatas adalah kemampuan bawaan (inborn ability).
Bahasawan seperti Diller (1970) lebih mendukung teori kognitif;
sementara bahasawan yang lain seperti Chastain (1976) dan Rivers
(1981:25-27) beranggapan bahwa dua teori itu saling melengkapi dan
membentangkan berbedanya jenis pembelajar atau pengajar atau malah
merepresentasikan berbedanya fase pemelajaran bahasa. Tampaknya, teori
empirisis bermanfaat dan lebih cocok untuk pemelajaran dan pengajaran
bahasa; sedangkan teori kognitif lebih bermanfaat dan cocok untuk
analisis bahasa.
Pada tahun 1970an, sekelompok
sarjana seperti Oller (1970) dan Widdowson (1978), yang merupakan ahli
bahasanya sendiri tetapi pada saat yang sama bergulat dengan praktik
pengajaran, memberi arah kebahasaan pada pendidikan dan pengajaran
bahasa yang dianggapnya perlu. Karena dalam kedudukannya yang baik untuk
menciptakan mata rantai antara teori bahasa dan praktik pengajaran
bahasa, keduanya menekankan pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Minat
Oller pada Pragmatik bisa dijadikan contoh. Oller (1970:507)
menyatakan bahwa Pragmatik berimplikasi pada pengajaran bahasa; ia
membatasi tujuan pengajaran suatu bahasa untuk mendorong peserta didik
tidak hanya memanipulasi rentetean bunyi tak bermakna, tetapi juga
mengirim dan menerima pesan dalam bahasa. Dalam pemelajaran dan
pengajaran bahasa Inggris, pengetahuan yang cukup tentang Pragmatik
sungguh bisa membantu kita sebagai guru untuk mempelajari dan mengajar
bahasa Inggris dengan baik. Sebagai contoh, dalam percakapan harian,
orang seringkali berbicara secara tidak langsung, barangkali kita sudah
mengetahuinya, tetapi tanpa pengetahuan Pragmatik, kita tak bisa
menerangkannya dengan benar. Dengan pengetahuan Pragmatik kita bisa
menerangjelaskan beberapa gejala bahasa secara akurat, yang membuat
peserta didik kita memiliki wawasan yang lebih dalam tentang hakikat
bahasa. Widdowson (1978) membatasi seperangkat konsep yang berkontras
untuk membedakan antara bahasa sebagai sistem formal dan bahasa sebagai
peristiwa komunikatif. Beliau menganjurkan pergeseran penekanan dari
pengajaran bahasa kedua sebagai sistem formal ke pengajaran bahasa
kedua sebagai komunikasi. Pandangan Widdowson ini sejalan dengan situasi
pengajaran bahasa kedua di negara kita. Saat ini kita menekankan
pentingnya kemampuan komunikatif peserta didik kita, yakni berkata,
menyimak, dan berbincang alih-alih kemahiran berbahasa. Ini tidak
bermakna bahwa kita tidak memerlukan pengetahuan tentang ilmu bahasa;
justru sebaliknya, kita memakai teori bahasa sebagai pemandu pengajaran
bahasa kita.
3. Ilmu Bahasa, Pengajaran Bahasa, dan Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan sebuah
entitas yang kompleks. Ia kontradiktif dan opositif. Ilmu bahasa dan
pengajaran bahasa semestinya mempertimbangkan kontradiksi ini. Jika
tidak, ia tidak bisa memberi solusi yang memuaskan terhadap
permasalahan bahasa. Karena bahasa pada hakikatnya kompleks, yang harus
dilakukan ilmu bahasa adalah mengidentifikasi elemen atau aspek untuk
menganalisisnya. Sebagai contoh, tatkala kita berbicara tentang bahasa,
kita mencoba menganalisisnya dari empat aspek: sistem bunyi, sistem
gramatikal, sistem leksikal, dan sistem wacana. Dari keempat aspek itu,
kita bisa melihat, termasuk atau tidak termasuk aspek yang mana teori
pegajaran atau praktik pengajaran bahasa kita. Secara teoretis, keempat
aspek tersebut mesti dilibatkan dalam teori pengajaran kita, karena
keempatnya merupakan gambaran menyeluruh tentang bahasa. Tatkala kita
menganalisis setiap aspek itu, kita akan memakai teori bahasa untuk
menggambarkannya, yang bermakna bahwa kita harus memepertimbangkan
bagaimana ia beroperasi secara linguistis, apa maknanya secara semantis,
dan bagaimana ia digunakan secara sosiolinguistis. Hanya jika bahasa
dianalisis secara sistematis, ia bisa dipelajari secara praksis. Namun,
guru bahasa berharap bahwa ia mengajar bahasa secara menyeluruh
(holistis), yang bermakna bahwa bahasa selayaknya dianggap sebagai
sebuah sintesis dalam praktik pengajaran kita. Dengan demikian, teori
pengajaran bahasa yang memuaskan sepatutnya menganggap bahasa baik
sebagai fitur-fitur yang terpisah maupun sebagai sebuah sintesis.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahasa adalah
juga sebuah entitas yang opositif, yakni bahwa bahasa itu terkendali
oleh tata aturan (rule-governed) dan bahasa itu berdaya cipta (creative).
Ia tidak hanya melibatkan tata dan keteraturan, tetapi juga memberi
peluang untuk berdaya cipta. Berbasis pada hal ini, praktik pengajaran
bahasa atau teori pengajaran maupun teori bahasa sepatutnya
mempertimbangkan keteraturan dan kemungkinan menggunakan keteraturan ini
dengan berbagai cara. Dalam praktik pengajaran kita, kita seharusnya
mengajar peserta didik kita tata bahasa atau aturan bahasa; di sisi
lain, kita meminta peserta didik memakai bahasa secara inovatif
berbasis pada aturan itu. Dalam konteks inilah, pengajaran tata aturan
bahasa sepatutnya diletakkan pada kedudukan tertinggi, karena tanpa
dasar yang kokoh
0 komentar:
Posting Komentar